Jumat, 09 April 2010

Hubungan Hukum antara Karyawan Outsourcing (Alih Daya) dengan Perusahaan Pengguna Outsourcing

Hubungan hukum Perusahaan Outsourcing (Alih Daya) dengan perusahaan pengguna outsourcing (Alih Daya) diikat dengan menggunakan Perjanjian Kerjasama, dalam hal penyediaan dan pengelolaan pekerja pada bidang-bidang tertentu yang ditempatkan dan bekerja pada perusahaan pengguna outsourcing. Karyawan outsourcing (Alih Daya) menandatandatangani perjanjian kerja dengan perusahaan outsourcing (Alih Daya) sebagai dasar hubungan ketenagakerjaannya. Dalam perjanjian kerja tersebut disebutkan bahwa karyawan ditempatkan dan bekerja di perusahaan pengguna outsourcing.

Dari hubungan kerja ini timbul suatu permasalahan hukum, karyawan outsourcing (Alih Daya) dalam penempatannya pada perusahaan pengguna outsourcing (Alih Daya) harus tunduk pada Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang berlaku pada perusahaan pengguna oustourcing tersebut, sementara secara hukum tidak ada hubungan kerja antara keduanya.

Hal yang mendasari mengapa karyawan outsourcing (Alih Daya) harus tunduk pada peraturan perusahaan pemberi kerja adalah :


  1. Karyawan tersebut bekerja di tempat/lokasi perusahaan pemberi kerja;


  2. Standard Operational Procedures (SOP) atau aturan kerja perusahaan pemberi kerja harus dilaksanakan oleh karyawan, dimana semua hal itu tercantum dalam peraturan perusahaan pemberi kerja;


  3. Bukti tunduknya karyawan adalah pada Memorandum of Understanding (MoU) antara perusahaan outsource dengan perusahaan pemberi kerja, dalam hal yang menyangkut norma-norma kerja, waktu kerja dan aturan kerja. Untuk benefit dan tunjangan biasanya menginduk perusahaan outsource.

Dalam hal terjadi pelanggaran yang dilakukan pekerja, dalam hal ini tidak ada kewenangan dari perusahaan pengguna jasa pekerja untuk melakukan penyelesaian sengketa karena antara perusahaan pengguna jasa pekerja (user) dengan karyawan outsource secara hukum tidak mempunyai hubungan kerja, sehingga yang berwenang untuk menyelesaikan perselisihan tersebut adalah perusahaan penyedia jasa pekerja, walaupun peraturan yang dilanggar adalah peraturan perusahaan pengguna jasa pekerja (user).

Peraturan perusahaan berisi tentang hak dan kewajiban antara perusahaan dengan karyawan outsourcing. Hak dan kewajiban menggambarkan suatu hubungan hukum antara pekerja dengan perusahaan, dimana kedua pihak tersebut sama-sama terikat perjanjian kerja yang disepakati bersama. Sedangkan hubungan hukum yang ada adalah antara perusahaan Outsourcing (Alih Daya) dengan perusahaan pengguna jasa, berupa perjanjian penyediaan pekerja. Perusahaan pengguna jasa pekerja dengan karyawan tidak memiliki hubungan kerja secara langsung, baik dalam bentuk perjanjian kerja waktu tertentu maupun perjanjian kerja waktu tidak tertentu.

Apabila ditinjau dari terminologi hakikat pelaksanaan Peraturan Perusahaan, maka peraturan perusahaan dari perusahaan pengguna jasa tidak dapat diterapkan untuk karyawan outsourcing (Alih Daya) karena tidak adanya hubungan kerja. Hubungan kerja yang terjadi adalah hubungan kerja antara karyawan outsourcing (Alih Daya) dengan perusahaan outsourcing, sehingga seharusnya karyawan outsourcing (Alih Daya) menggunakan peraturan perusahaan outsourcing, bukan peraturan perusahaan pengguna jasa pekerja.

Karyawan outsourcing yang ditempatkan di perusahaan pengguna outsourcing tentunya secara aturan kerja dan disiplin kerja harus mengikuti ketentuan yang berlaku pada perusahaan pengguna outsourcing. Dalam perjanjian kerjasama antara perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna outsourcing harus jelas di awal, tentang ketentuan apa saja yang harus ditaati oleh karyawan outsourcing selama ditempatkan pada perusahaan pengguna outsourcing. Hal-hal yang tercantum dalam peraturan perusahaan pengguna outsourcing sebaiknya tidak diasumsikan untuk dilaksanakan secara total oleh karyawan outsourcing.

Misalkan masalah benefit, tentunya ada perbedaan antara karyawan outsourcing dengan karyawan pada perusahaan pengguna outsourcing. Hal-hal yang terdapat pada Peraturan Perusahaan yang disepakati untuk ditaati, disosialisasikan kepada karyawan outsourcing oleh perusahaan outsourcing. Sosialisasi ini penting untuk meminimalkan tuntutan dari karyawan outsourcing yang menuntut dijadikan karyawan tetap pada perusahaan pengguna jasa outsourcing, dikarenakan kurangnya informasi tentang hubungan hukum antara karyawan dengan perusahaan pengguna outsourcing.

Perbedaan pemahaman tesebut pernah terjadi pada PT Toyota Astra Motor, salah satu produsen mobil di Indonesia. Dimana karyawan outsourcing khusus pembuat jok mobil Toyota melakukan unjuk rasa serta mogok kerja untuk menuntut dijadikan karyawan PT Toyota Astra Motor. Hal ini dikarenakan kurangnya sosialisasi mengenai status hubungan hukum mereka dengan PT Toyota Astra Motor selaku perusahaan pengguna outsourcing.

dikutip dari : www.jurnalhukum.blogspot.com

Jelas dikatakan bahwa tanggung jawab secara hukum berada pada perusahaan penyedia jasa outsourcing, bukan perusahaan pengguna jasa outsourcing. Hal ini menurut saya merupakan salah satu motivasi utama berbagai perusahaan untuk menggunakan jasa outsourcing. perusahaan tidak akan bertanggung jawab terhadap segala tuntutan yang dibuat oleh para buruh outsourcing. Hal ini menjadikan posisi buruh outsourcing lemah jika terjadi konflik antara perusahaan pengguna jasa outsourcing dengan buruh outsourcing.

Baca Selengkapnya -

Perjanjian dalam Outsourcing

Hubungan kerjasama antara Perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa outsourcing tentunya diikat dengan suatu perjanjian tertulis. Perjanjian dalam outsourcing (Alih Daya) dapat berbentuk perjanjian pemborongan pekerjaan atau perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh. Perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh para pihak harus memenuhi syarat sah perjanjian seperti yang tercantum dalam pasal 1320 KUH Perdata, yaitu:


  1. Sepakat, bagi para pihak;

  2. Kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan;

  3. Suatu hal tertentu;

  4. Sebab yang halal.
Perjanjian dalam outsourcing (Alih Daya) juga tidak semata-mata hanya mendasarkan pada asas kebebasan berkontrak sesuai pasal 1338 KUH Perdata, namun juga harus memenuhi ketentuan ketenagakerjaan, yaitu UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.


Dalam penyediaan jasa pekerja, ada 2 tahapan perjanjian yang dilalui yaitu:

1. Perjanjian antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan penyedia pekerja/buruh ;


Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau perjanjian penyediaan jasa pekerja yang dibuat secara tertulis. Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
c. merupakakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan;
d. tidak menghambat proses produksi secara langsung.

Dalam hal penempatan pekerja/buruh maka perusahaan pengguna jasa pekerja akan membayar sejumlah dana (management fee) pada perusahaan penyedia pekerja/buruh.

2. perjanjian perusahaan penyedia pekerja/buruh dengan karyawan
Penyediaan jasa pekerja atau buruh untuk kegiatan penunjang perusahaan hatus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. adanya hubungan kerja antara pekerja atau buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja atau buruh;
b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan dan atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua pihak;
c. perlindungan usaha dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja maupun perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.

Dengan adanya 2 (dua) perjanjian tersebut maka walaupun karyawan sehari-hari bekerja di perusahaan pemberi pekerjaan namun ia tetap berstatus sebagai karyawan perusahaan penyedia pekerja. Pemenuhan hak-hak karyawan seperti perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul tetap merupakan tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja.Perjanjian kerja antara karyawan dengan perusahaan outsourcing (Alih Daya) dapat berupa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) maupun Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).

Perjanjian kerja antara karyawan outsourcing dengan perusahaan outsourcing biasanya mengikuti jangka waktu perjanjian kerjasama antara perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa outsourcing. Hal ini dimaksudkan apabila perusahaan pengguna jasa outsourcing hendak mengakhiri kerjasamanya dengan perusahaan outsourcing, maka pada waktu yang bersamaan berakhir pula kontrak kerja antara karyawan dengan perusahaan outsource. Bentuk perjanjian kerja yang lazim digunakan dalam outsourcing adalah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Bentuk perjanjian kerja ini dipandang cukup fleksibel bagi perusahaan pengguna jasa outsourcing, karena lingkup pekerjaannya yang berubah-ubah sesuai dengan perkembangan perusahaan.

Karyawan outsourcing walaupun secara organisasi berada di bawah perusahaan outsourcing, namun pada saat rekruitment, karyawan tersebut harus mendapatkan persetujuan dari pihak perusahaan pengguna outsourcing. Apabila perjanjian kerjasama antara perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa outsourcing berakhir, maka berakhir juga perjanjian kerja antara perusahaan outsourcing dengan karyawannya.

Dikutip dari : www.Jurnalhukum.blogspot.com

Kesepakatan antara beberapa pihak akan memiliki kekuatan hukum jika dituliskan dalan surat perjanjian bermaterai dan ditandatangani oleh pihak yang melakukan perjanjian. Namun, sebelum kita menandatangani sebaiknya kita perhatikan dan teliti lebih lanjut mengenai persyaratan dan hal yang terkait dalam perjanjian tersebut. Selama kita benar-benar memahami perjanjian tersebut maka dapat dilakukan penuntutan secara hukum jika terjadi pelaksanaan yang melanggar dari perjanjian yang telah disepakati.
Baca Selengkapnya -

Penentuan Pekerjaan Utama (Core Business) dan Pekerjaan Penunjang (Non Coree Business) dalam Perusahaan sebagai Dasar Pelaksanaan Outsourcing

Berdasarkan pasal 66 UU No.13 Tahun 2003 outsourcing (Alih Daya) dibolehkan hanya untuk kegiatan penunjang, dan kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.

R.Djokopranoto dalam materi seminarnya menyampaikan bahwa :

“Dalam teks UU no 13/2003 tersebut disebut dan dibedakan antara usaha atau kegiatan pokok dan kegiatan penunjang. Ada persamaan pokok antara bunyi UU tersebut dengan praktek industri, yaitu bahwa yang di outsource umumnya (tidak semuanya) adalah kegiatan penunjang (non core business), sedangkan kegiatan pokok (core business) pada umumnya (tidak semuanya) tetap dilakukan oleh perusahaan sendiri. Namun ada potensi masalah yang timbul. Potensi masalah yang timbul adalah apakah pembuat dan penegak undang-undang di satu pihak dan para pengusaha dan industriawan di lain pihak mempunyai pengertian dan interpretasi yang sama mengenai istilah-istilah tersebut.”

Kesamaan interpretasi ini penting karena berdasarkan undang-undang ketenagakerjaan outsourcing (Alih Daya) hanya dibolehkan jika tidak menyangkut core business. Dalam penjelasan pasal 66 UU No.13 tahun 2003, disebutkan bahwa :

”Yang dimaksud dengan kegiatan penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok (core business) suatu perusahaan.Kegiatan tersebut antara lain: usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh catering, usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh.”

Interpretasi yang diberikan undang-undang masih sangat terbatas dibandingkan dengan kebutuhan dunia usaha saat ini dimana penggunaan outsourcing (Alih Daya) semakin meluas ke berbagai lini kegiatan perusahaan.

Konsep dan pengertian usaha pokok atau core business dan kegiatan penunjang atau non core business adalah konsep yang berubah dan berkembang secara dinamis. Oleh karena itu tidak heran kalau Alexander dan Young (1996) mengatakan bahwa ada empat pengertian yang dihubungkan dengan core activity atau core business. Keempat pengertian itu ialah :


  • Kegiatan yang secara tradisional dilakukan di dalam perusahaan.


  • Kegiatan yang bersifat kritis terhadap kinerja bisnis.


  • Kegiatan yang menciptakan keunggulan kompetitif baik sekarang maupun di waktu yang akan datang.


  • Kegiatan yang akan mendorong pengembangan yang akan datang, inovasi, atau peremajaan kembali.
Interpretasi kegiatan penunjang yang tercantum dalam penjelasan UU No.13 tahun 2003 condong pada definisi yang pertama, dimana outsourcing (Alih Daya) dicontohkan dengan aktivitas berupa pengontrakan biasa untuk memudahkan pekerjaan dan menghindarkan masalah tenaga kerja. Outsourcing (Alih Daya) pada dunia modern dilakukan untuk alasan-alasan yang strategis, yaitu memperoleh keunggulan kompetitif untuk menghadapi persaingan dalam rangka mempertahankan pangsa pasar, menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan perusahaan.


Outsourcing (Alih Daya) untuk meraih keunggulan kompetitif ini dapat dilihat pada industri-industri mobil besar di dunia seperti Nissan, Toyota dan Honda. Pada awalnya dalam proses produksi mobil, core business nya terdiri dari pembuatan desain, pembuatan suku cadang dan perakitan. Pada akhirnya yang menjadi core business hanyalah pembuatan desain mobil sementara pembuatan suku cadang dan perakitan diserahkan pada perusahaan lain yang lebih kompeten, sehingga perusahaan mobil tersebut bisa meraih keunggulan kompetitif.

Dalam hal outsourcing (Alih Daya) yang berupa penyediaan pekerja, dapat dilihat pada perkembangannya saat ini di Indonesia, perusahaan besar seperti Citibank banyak melakukan outsource untuk tenaga-tenaga ahli, sehingga interpretasi outsource tidak lagi hanya sekadar untuk melakukan aktivitas-aktivitas penunjang seperti yang didefinisikan dalam penjelasan UU No.13 tahun 2003. Untuk itu batasan pengertian core business perlu disamakan lagi interpretasinya oleh berbagai kalangan. Pengaturan lebih lanjut untuk hal-hal semacam ini belum diakomodir oleh peraturan ketenagakerjaan di Indonesia.

Perusahaan dalam melakukan perencanaan untuk melakukan outsourcing terhadap tenaga kerjanya, mengklasifikasikan pekerjaan utama dan pekerjaan penunjang ke dalam suatu dokumen tertulis dan kemudian melaporkannya kepada instansi ketenagakerjaan setempat.

Pembuatan dokumen tertulis penting bagi penerapan outsourcing di perusahaan, karena alasan-alasan sebagai berikut :


  1. Sebagai bentuk kepatuhan perusahaan terhadap ketentuan tentang ketenagakerjaan dengan melakukan pelaporan kepada Dinas Tenaga Kerja setempat;

  2. Sebagai pedoman bagi manajemen dalam melaksanakan outsourcing pada bagian-bagian tertentu di perusahaan;

  3. Sebagai sarana sosialisasi kepada pihak pekerja tentang bagian-bagian mana saja di perusahaan yang dilakukan outsourcing terhadap pekerjanya;

  4. Meminimalkan risiko perselisihan dengan pekerja, serikat pekerja, pemerintah serta pemegang saham mengenai keabsahan dan pengaturan tentang outsourcing di Perusahaan.
dikutip dari : www.jurnalhukum.blogspot.com

Dalam pelaksanaan outsourcing memang harus dibedakan antara kegiatan inti dan kegiatan penunjang. Menurut undang-undang, outsourcing hanya dilakukan untuk pekerjaan penunjang. Namun pelaksanaannya pada saat ini sudah banyak diselewengkan yaitu dengan melaksanakan outsourcing untuk pekerjaan inti di perusahaan. Mungkin perusahaan tidak ingin menanggung beban pesangon jika melakukan pemutusan hubungan kerja secara sepihak.
Baca Selengkapnya -

Pengaturan Outsourcing (Alih Daya) dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai dasar hukum diberlakukannya outsourcing (Alih Daya) di Indonesia, membagi outsourcing (Alih Daya) menjadi dua bagian, yaitu: pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa pekerja/buruh. Pada perkembangannya dalam draft revisi Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan outsourcing (Alih Daya) mengenai pemborongan pekerjaan dihapuskan, karena lebih condong ke arah sub contracting pekerjaan dibandingkan dengan tenaga kerja.

Untuk mengkaji hubungan hukum antara karyawan outsourcing (Alih Daya) dengan perusahaan pemberi pekerjaan, akan diuraikan terlebih dahulu secara garis besar pengaturan outsourcing (Alih Daya) dalam UU No.13 tahun 2003.

Dalam UU No.13/2003, yang menyangkut outsourcing (Alih Daya) adalah pasal 64, pasal 65 (terdiri dari 9 ayat), dan pasal 66 (terdiri dari 4 ayat).

Pasal 64 adalah dasar dibolehkannya outsourcing. Dalam pasal 64 dinyatakan bahwa: Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.”

Pasal 65 memuat beberapa ketentuan diantaranya adalah:


  • penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis (ayat 1);

  • pekerjaan yang diserahkan pada pihak lain, seperti yang dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
    - dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
    - dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
    - merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan;
    - tidak menghambat proses produksi secara langsung. (ayat 2)

  • perusahaan lain (yang diserahkan pekerjaan) harus berbentuk badan hukum (ayat 3);
    perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan lain sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundangan (ayat 4);

  • perubahan atau penambahan syarat-syarat tersebut diatas diatur lebih lanjut dalam keputusan menteri (ayat 5);

  • hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan diatur dalam perjanjian tertulis antara perusahaan lain dan pekerja yang dipekerjakannya (ayat 6)

  • hubungan kerja antara perusahaan lain dengan pekerja/buruh dapat didasarkan pada perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu (ayat 7);

  • bila beberapa syarat tidak terpenuhi, antara lain, syarat-syarat mengenai pekerjaan yang diserahkan pada pihak lain, dan syarat yang menentukan bahwa perusahaan lain itu harus berbadan hukum, maka hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan (ayat 8).

Pasal 66 UU Nomor 13 tahun 2003 mengatur bahwa pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa tenaga kerja tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Perusahaan penyedia jasa untuk tenaga kerja yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi juga harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain:

  • adanya hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja;

  • perjanjian kerja yang berlaku antara pekerja dan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu atau tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani kedua belah pihak;

  • perlindungan upah, kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;

  • perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis.

Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Dalam hal syarat-syarat diatas tidak terpenuhi (kecuali mengenai ketentuan perlindungan kesejahteraan), maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.

dikutip dari : www.jurnalhukum.blogspot.com

Jadi, pada dasarnya pelaksanaan outsourcing memiliki syarat-syarat tertentu yang wajib dipenuhi oleh pihak pelaksana. Namun, perlu dilakukan sosialisasi terhadap syarat/kondisi yang harus dipenuhi terhadap karyawan/buruh outsourcing agar tidak terjadi penipuan hak yang diperoleh oleh mereka.

Baca Selengkapnya -

Apa Sih Outsourcing Itu....??

Definisi Outsourcing

Dalam pengertian umum, istilah outsourcing (Alih Daya) diartikan sebagai contract (work) out seperti yang tercantum dalam Concise Oxford Dictionary, sementara mengenai kontrak itu sendiri diartikan sebagai berikut:

“ Contract to enter into or make a contract. From the latin contractus, the past participle of contrahere, to draw together, bring about or enter into an agreement.” (Webster’s English Dictionary)

Pengertian outsourcing (Alih Daya) secara khusus didefinisikan oleh Maurice F Greaver II, pada bukunya Strategic Outsourcing, A Structured Approach to Outsourcing: Decisions and Initiatives, dijabarkan sebagai berikut :

“Strategic use of outside parties to perform activities, traditionally handled by internal staff and respurces.”

Menurut definisi Maurice Greaver, Outsourcing (Alih Daya) dipandang sebagai tindakan mengalihkan beberapa aktivitas perusahaan dan hak pengambilan keputusannya kepada pihak lain (outside provider), dimana tindakan ini terikat dalam suatu kontrak kerjasama.

Beberapa pakar serta praktisi outsourcing (Alih Daya) dari Indonesia juga memberikan definisi mengenai outsourcing, antara lain menyebutkan bahwa outsourcing (Alih Daya) dalam bahasa Indonesia disebut sebagai alih daya, adalah pendelegasian operasi dan manajemen harian dari suatu proses bisnis kepada pihak luar (perusahaan jasa outsourcing). Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Muzni Tambusai, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang mendefinisikan pengertian outsourcing (Alih Daya) sebagai memborongkan satu bagian atau beberapa bagian kegiatan perusahaan yang tadinya dikelola sendiri kepada perusahaan lain yang kemudian disebut sebagai penerima pekerjaan.

Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas, terdapat persamaan dalam memandang outsourcing (Alih Daya) yaitu terdapat penyerahan sebagian kegiatan perusahaan pada pihak lain.
dikutip dari : www.jurnalhukum.blogspot.com

Pelaksanaan outsourcing pada kalangan industri di indonesia sudah cukup dikenal. peraturan ini menimbulkan banyak pro dan kontra. Menurut pengamatan saya hal ini memang agak merugikan bagi karyawan/buruh outsourcing. Sekali lagi hal ini adalah sebuah pilihan yang dapat kita pikirkan. Apakah bekerja sebagai buruh/karyawan outsourcing atau menjadi wirausaha..?? so pick your choice...
Baca Selengkapnya -

Kamis, 08 April 2010

Fenomena Pelaksanaan Outsourcing dari Aspek Hukum Ketenagakerjaan


Perkembangan ekonomi global dan kemajuan teknologi yang demikian cepat membawa dampak timbulnya persaingan usaha yang begitu ketat dan terjadi di semua lini.Lingkungan yang sangat kompetitif ini menuntut dunia usaha untuk menyesuaikan dengan tuntutan pasar yang memerlukan respons yang cepat dan fleksibel dalam meningkatkan pelayanan terhadap pelanggan.Untuk itu dperlukan suatu perubahan struktural dalam pengelolaan usaha dengan memperkecil rentang kendali manajemen, dengan memangkas sedemikian rupa sehingga dapat menjadi lebih efektif, efisien dan produktif.

Dalam kaitan itulah dapat dimengerti bahwa kalau kemudian muncul kecenderungan uotsourcing yaitu memborongkan satu bagian atau beberapa bagian kegiatan perusahaan yang tadinya dikelola sendiri kepada perusahaan lain yang kemudian disebut perusahaan penerima pekerjaan.

Praktek sehari-hari outsourcing selama ini diakui lebih banyak merugikan pekerja/buruh, karena hubungan kerja selalu dalam bentuk tidak tetap/kontrak (PKWT), upah lebih rendah, jaminan sosial kalaupun ada hanya sebatas minimal, tidak adanya job security serta tidak adanya jaminan pengembangan karir dan lain-lain sehingga memang benar kalau dalam keadaan seperti itu dikatakan praktek outsourcing akan menyengsarakan pekerja/buruh dan membuat kaburnya hubungan industrial.

Hal tersebut dapat terjadi karena sebelum adanya UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, tidak ada satupun peraturan perundang-undangan dibidang ketengakerjaan yang mengatur perlindungan terhadap pekerja/buruh dalam melaksanakan outsourcing. Kalaupun ada, barang kali Permen Tenaga Kerja No. 2 Tahun 1993 tentang kesempatan kerja waktu tertentu atau (KKWT), yang hanya merupakan salah satu aspek dari ousourcing.

Walaupun diakui bahwa pengaturan outsourcing dalam UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 belum dapat menjawab semua permasalahan outsourcing yang begitu luas dan kompleks, namun setidak-tidaknya dapat memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh terutama yang menyangkut syarat-syarat kerja, kondisi kerja serta jaminan sosial dan perlindungan kerja lainnya serta dapat dijadikan acuan dalam menyelesaikan apabila terjadi permasalahan.

Pelaksanaan outsourcing
Dalam beberapa tahun terakhir ini pelaksanaan outsourcing dikaitkan dengan hubungan kerja, sangat banyak dibicarakan oleh pelaku proses produksi barang maupun jasa dan oleh pemerhati, karena outsourcing banyak dilakukan dengan sengaja untuk menekan biaya pekerja/buruh (labour cost) dengan perlindungan dan syarat kerja yang diberikan jauh di bawah dari yang seharusnya diberikan sehingga sangat merugikan pekerja/buruh.
Pelaksanaan outsourcing yang demikian dapat menimbulkan keresahan pekerja/buruh dan tidak jarang diikuti dengan tindakan mogok kerja,sehingga maksud diadakannya outsourcing seperti apa yang disebutkan di atas menjadi tidak tercapai, oleh karena terganggunya proses produksi barang maupun jasa.

Terminologi outsourcing terdapat dalam Pasal 1601 b KUH Perdata yang mengatur perjanjian-perjanjian pemborongan pekerjaan yaitu suatu perjanjian dimana pihak yang ke satu, pemborong, mengikatkan diri untuk membuat suatu kerja tertentu bagi pihak yang lain, yang memborongkan dengan menerima bayaran tertentu. Sementara dalam UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 secara eksplisip tidak ada istilah outsourcing tetapi praktek outsourcing dimaksud dalam UU ingin dikenal dalam 2 (dua) bentuk, yaitu pemborongan pekerjaan dan penyediaan pekerja/buruh sebagaimana diatur dalam Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66.

Praktek outsourcing dalam UU Ketengakerjaan tersebut dapat dilaksanakan dengan persyaratan yang sangat ketat sebagai berikut:
1. Perjanjian pemborongan pekerjaan dibuat secara tertulis


2. Bagian pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan penerima pekerjaan, diharuskan memenuhi syarat-syarat:
- apabila bagian pekerjaan yang tersebut dapat dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama
- bagian pekerjaan itu merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan sehingga kalau dikerjakan pihak lain tidakkan menghambat proses produksi secara langsung, dan
- dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan.
Semua persyaran diatas bersifat kumulatif sehingga apabila salah satu syarat tidak terpenuhi, maka bagian pekerjaan tersebut tidak dapat dioutsourcingkan.


3. Perusahaan penerima pekerjaan harus berbadan hukum. Ketentuan ini diperlukan karena banyak perusahaan penerima pekerjaan yang tidak bertanggung jawab dalam memenuhi kewajiban terhadap hak-hak pekerja/buruh sebagaimana mestinya sehingga pekerja/buruh menjadi terlantar. Oleh karena itu berbadan hukum menjadi sangat penting agar tidak bisa menghindar dari tanggung jawab. Dalam hal perusahaan penerima pekerjaan, demi hukum beralih kepada perusahaan pemberi pekerjaan;


4. Perlidungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan penerima pekerja sekurang-kurangnya sama dengan pekerja/buruh pada perusahaan pemberi kerja agar terdapat perlakuan yang sama terhadap pekerja/buruh baik di perusahaan pemberi maupun perusahaan penerima pekerjaan karena pada hakekatnya bersama-sama untuk mencapai tujuan yang sama,sehingga tidak ada lagi syarat kerja, upah, perlindungan kerja yang lebih rendah.


5. Hubungan kerja yang terjadi pada outsourcing adalah antara pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pekerjaan dan di tuangkan dalam Perjanjian Kerja tertulis.Hubungan kerja tersebut pada dasarnya PKWTT (perjanjian kerja waktu Tak Tertentu ) atau tetap dan bukan kontrak akan tetapi dapat pula dilakukan PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu )/kontrak apabila memenuhi semua persyaratan baik formal maupun materiil sebagaimana diatur dalam pasal 59 UU ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003. Dengan demikian maka hubungan kerja pada outsouring tidak selalu dalam bentuk PKWT / Kontrak, apalagi akan sangat keliru kalau ada yang beranggapan bahwa outsourcing selalu dan atau sama dengan PKWT.


6. Perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh yang merupakan salah satu bentuk dari outsourcing,harus dibedakan dengan Lembaga Penempatan Tenaga Kerja Swasta (Labour Supplier ) Sebagaimana diatur dalam pasal 35,36,37 dan 38 UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 dimana apabila tenaga kerja telah di tempatkan, maka hubungan kerja yang terjadi sepenuhnya adalah pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi kerja bukan dengan lembaga penempatan tenaga kerja Swasta tersebut.

Dalam pelaksanaan penyediaan jasa pekerja/buruh, perusahaan pemberi kerja tidak boleh memperkerjakan pekerja/buruh untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan dengan proses produksi dan hanya boleh di gunakan untuk melaksanakan kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan lansung dengan proses produksi.. Kegiatan dimaksud antara lain: Usaha pelayanan kebersihan (clening service), usaha penyedia makanan bagi pekerja/buruh (catering), usaha tenaga pengaman/satuan pengamanan (security), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan serta usaha penyedia angkutan pekerja/buruh.
Disamping persyaratan yang berlaku untuk pemborongan pekerjaan, perusahaan penyediaan jasa pekerja/buruh bertanggung jawab dalam hal perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan hubungan industrial yang terjadi.


Perlindungan hukum
Pengaturan pelaksanan outsourcing bila dilihat dari segi hukum ketenagakerjaan seperti apa yang di sebutkan di atas adalah untuk memberikan kepastian hukum pelaksanaan outsourcing dan dalam waktu bersamaan memberikan perlindungan kepada pekerja/buruh, sehingga adanya anggapan bahwa hubungan kerja pada outsourcing selalu menggunakan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu/Kontrak sehingga mengaburkan hubungan industrial adalah tidak benar. Pelaksanan hubungan kerja pada outsourcing telah diatur secara jelas dalam pasal 65 ayat ( 6 ) dan ( 7 ) dan pasal 66 ayat ( 2 ) dan ( 4 ) UU Ketenagakerjaan.

Memang pada keadaan tertentu sangat sulit untuk mendefenisikan/menentukan jenis pekerjaan yang dikatagorikan penunjang.Hal tsb dapat terjadi karena perbedaan persepsi dan adakalanya juga dilatarbelakangi loeh kepentingan yang diwakili untuk memperoleh keuntungan dari kondisi tersebut. Disamping itu bentuk-bentuk pengolaan usaha yang sangat bervariasi dan beberapa perusahaan multi nasional dalam era globalisasi ini membawa bentuk baru pola kemitraan usahanya,menambah semakin kompleksnya kerancuan tersebut.

Oleh karena itu melalui keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam pasal 65 ayat (5) UU Ketenagakerjaan No. 13 Thn.2003 diharapkan mampu mengakomodir/memperjelas dan menjawab segala sesuatu yang menimbulkan kerancuan tersebut dengan mempertimbangkan masukan dari semua pihak pelaku proses produksi barang maupun jasa.

Selain dari upaya tersebut,untuk mengurangi timbulnya kerancuan,dapat pula dilakukan dengan membuat dan menetapkan skema proses produksi suatu barang maupun jasa sehingga dapat di tentukan pekerjaan pokok/utama (core business ) ; di luar itu berarti pekerjaan penunjang . Dalam hal ini untuk menyamakan persepsi perlu dikomunikasikan dengan pekerja/buruh dan SP/SB serta instansi terkait untuk kemudian dicantumkan dalam PP/PKB.



Penutup
Pengaturan outsourcing dalam UU ketenagakerjaan berikut peraturan pelaksanaannya dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dan sekaligus memberikan bagi pekerja/buruh. Bahwa dalam prakteknya ada yang belum terlaksana sebagaimana mestinya adalah masalah lain dan bukan karena aturannya itu sendiri.

Oleh karena itu untuk menjamin terlaksananya secara baik sehingga tercapai tujuan untuk melindungi pekerja/buruh,diperlukan pengawas ketenagakerjaan maupun oleh masyarakat disamping perlunya kesadaran dan itikad baik semua pihak.[dr. Muzni Tambusai, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial]

dikutip dari tulisan : http://maulabour.wordpress.com.


Sistem outsourcing pada saat ini dirasa hanya menguntungkan salah satu pihak saja terutama kalangan pengusaha. Bagi karyawan memang akan dirugikan dengan hilangnya berbagai hak yang bisa diperoleh oleh karyawan yang berstatus pegawai tetap. Pemerintah sebaiknya melakukan beberapa revisi mengenai undang-undang outsourcing agar karyawan lebih memiliki kekuatan hukum dalam menuntut hak nya. Sebagai seorang karyawan, saya juga tidak setuju dengan sistem outsourcing. Oleh karena itu saya menghindari bekerja dengan status outsourcing. Mungkin hal itu juga menjadi pemikiran karyawan-karyawan lain di luar sana sehingga sampai saat ini pengangguran masih terjadi di mana-mana. Peran aktif dan kebijakan dari pemerintah sangat diharapkan oleh para karyawan outsourcing untuk dapat mengatasi fenomena yang terjadi di negeri kita saat ini. Sadar atau tidak, hal ini merupakan salah satu bentuk penjajahan secara halus menurut saya.


Baca Selengkapnya -

Rabu, 07 April 2010

Bajakan....?? Open source aja Lagi coy...


Mungkin sudah bukan rahasia umum lagi, kalau negara kita ini (baca : Indonesia) adalah “surga” bagi software bajakan. Nggak usah jauh-jauh, di sekitar kita saja – entah PC kantor, laptop pribadi ataupun komputer di rumah – coba perhatikan, apakah semuanya memakai software original dan berlisensi? Kalau mau jujur, pasti lebih dari 75% mengatakan “tidak tuh !”

Nah, laporan Global Software Piracy Study (GSPS) bisa menjadi acuan, bahwa persentase penggunaan software bajakan di Indonesia mencapai 85%. Dampaknya, menurut Business Software Alliance (BSA), kerugian atau opportunity lost yang mendera industri software lokal hingga 2008 bisa mencapai US$ 544 juta.

Untungnya, pemerintah juga tidak tinggal diam. Untuk mengerem laju pembajakan software yang makin marak ini, Tim Nasional Penanggulangan Pelanggaran Hak kekayaan Intelektual (PPHKI) kini menyasar pusat-pusat perdagangan komputer sebagai target kampanye. Tujuannya, selain memberikan edukasi kepdada pedagang, tim juga menyadarkan pengunjung agar tidak membeli produk bajakan. Sehingga, menyertai kampanye ini, PPHKI memasang berbagai poster-poster anti-software ilegal.

Sudah dapat kita duga, target pertama dalam rangkaian kampanye kali ini adalah kawasan perbelanjaan Mangga Dua, yang selama ini dikenal sebagai pusat komputer di Jakarta, bahkan di Indonesia. Instansi yang terlibat di kampanye inipun cukup beragam, mulai dari Departemen Hukum dan HAM, Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) dan Indonesia Anti Piracy (IAP). (sumber : www.sugengpribadi.com)

Tapi apa yang terjadi hingga tahun 2010 ini, software bajakan masih terus berkembang dan merajalela. Harga software original juga memang beda jauh banget dibanding yang bajakan. Untuk performa software mungkin cuma beda tipis antara yang "ori" dan yang "bajakan". sebagai warga negara yang baik sih seharusnya kalo ga mampu beli yang original sebaiknya pake software yang open source aja, linux misalnya. Software open source juga ga jelek-jelek amat menurut saya. Sekarang sudah banyak produk software open source yang tampilannya sudah user friendly alias mudah digunakan dan tampilan menarik. Sebut saja beragam distro dari linux mulai dari mandriva, sampai ubuntu versi terbaru. Selain bebas dari tuntutan hukum, pemakaian software open source juga dapat membuat kita terbebas dari ancaman virus komputer.

Jadi, tunggu apalagi....
segeralah mencoba program-program open source biar bangsa kita ini tidak selalu tergantung kepada bangsa lain. betul..betul..betul....

Jayalah Indonesiaku... Jadilah pemimpin dunia....
Baca Selengkapnya -

Benarkah Perlindungan Hukum terhadap Desain Industri Masih Kurang

Dengan berlakunya UU Nomor 19 tahun 2002, tentang Hak Cipta, maka pembajakan masuk daftar “musuh besar” dalam dunia industri. Sebelum Hak Cipta, UU No.14/2001, tentang Merek dan UU No.15/2001 sudah diluncurkan terlebih dahulu.

Ketiga istilah Hak Cipta, Paten dan Merek memang sangat populer berkaitan dengan Hak Kekayaan Intelektual (HaKI). Sebuah produk, biasa-nya hanya didaftar untuk memperoleh Hak Cipta, Merek atau Paten. Padahal, dalam sebuah produk, tidak hanya ketiga unsur tersebut, masih ada Desain Industri dan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.
Bagaimana dengan desain industri?
Perlindungan hukum terhadap desain industri seolah tenggelam dalam hingar bingar kampanye anti pembajakan. Bagi kebanyakan orang istilah desain industri masih asing
Terbitnya UU mengenai Desain Industri memang tergolong baru – UU Nomor 31 Tahun 2000 yang berlaku sejak 20 Desember 2000. Pendaftarannya sendiri baru dimulai pada 16 Juni 2001. Tak heran, bila desain industri kalah beken dibandingkan Hak Cipta, Paten atau Merek.
Padahal desain bagi masyarakat menjadi indikator akan nilai sebuah produk. Lihat saja, bagaimana desain telepon selular, mobil, motor, produk elektronik atau produk lain berubah demikian cepat. Dengan desain yang semakin menarik maka nilai sebuah produk ikut terdongkrak.
Namun, ironisnya desain yang di daftar masih sangat sedikit dibandingkan begitu banyak jumlah produk yang dikeluarkan dalam industri.
Direktur Hak Cipta, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dan Rahasia Dagang Departemen Kehakiman dan HAM, Emawati Junus mengakui besarnya ketidaktahuan masyarakat terhadap perlindungan desain industri.
Saat ini, pendaftaran terhadap desain industri yang masuk baru 8000 aplikasi dan di antaranya hanya 49 aplikasi berasal dari Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Statistik pemohon dari luar negeri 14 persen dan 86 persen berasal dari dalam negeri.
“Hak Cipta memang lebih dikenal daripada desain industri. Bagi masyarakat desain industri masih sangat baru,” ujarnya.
Jika Hak Cipta atau Merek adalah perlindungan terhadap produk tersebut maka desain industri adalah perlindungan terhadap penampakan suatu produk. Jadi perlindungan lebih pada bentuk kreasi penampakan dan konfigurasi yang tampak pada suatu produk bukan perlindungan terhadap produk tersebut.

Mendapat Hak
Setiap orang yang mendapat persetujuan dari Direktorat HKI maka mendapat hak desain industri atau monopoli selama 10 tahun. Pemegang hak desain industri ini mempunyai hak memberi izin atau melarang orang lain untuk membuat, menjual, mengimpor, mengekspor atau mengedarkan barang yang telah diberikan hak desain industri.
Dirjen Hak Kekayaan Intelektual Depkeh HAM, Abdul Bari Azed menegaskan, desain industri akan mendukung peningkatan pertumbuhan ekonomi. Bagaimanapun perlindungan terhadap desain industri akan meningkatkan kreativitas dalam menciptakan produk yang beragam di sektor manufaktur serta kerajinan.
Namun, Abdul Bari Azed mengakui pemerintah sangat minim melakukan sosialisasi mengenai desain industri. Karena itu, tidak aneh bila kemudian ada ketidaktahuan masyarakat akan desain industri. Jika begini fasilitas keringanan yang diberikan untuk UKM tingkat realisasinya sangat rendah.
Dalam PP Nomor 50 Tahun 2001, ada biaya khusus yang diberikan untuk UKM, pelajar atau mahasiswa dalam mendaftarkan desainnya. Kelompok ini mendapat keringanan 50 persen dari Rp 600.000 setiap kali pendaftaran.

Mudah Dibajak
Bayangkan jika desain sebuah produk tidak berubah. Lebih parah lagi, pertumbuhan dari industri minus. Jika itu yang terjadi pertumbuhan ekonomi juga tidak ada. Desain merupakan aset produk, bagian dari kreativitas manusia.
Kreativitas ini perlu ditingkatkan supaya bisa bersaing di perdagangan global.
Industri dan desain menjadi dua hal yang tak bisa dipisahkan. Dalam hal inilah, industri cenderung rendah dalam pengembangan desain. Tak pe-lak, bila kemudian sebuah kreativitas dibajak.
Menurut Guru Besar Desain Produk Industri ITB, Imam Buchori Zaenuddin hal itu disebabkan ada kegamangan dari industri untuk mengembangkan produk yang siklus hidupnya berjangka panjang dengan alasan investasi semacam itu penuh risiko. Selain itu, kurangnya wawasan industri tentang desain dan adanya anggapan penelitian desain membutuhkan biaya yang mahal serta belum adanya kejelasan hubungan antara industri dengan pendesain.
Pembajakan desain memang tak jarang dianggap sepi, tak heran kasus pembajakan ini yang muncul ke permukaan nyaris tidak ada. Padahal sebuah desain, sangat mudah untuk dijiplak. Misalnya dalam pameran, khususnya UKM, umumnya akan memamerkan produk belum didaftarkan.
Dengan hanya memotret produk itu, membuatnya dengan desain yang sama dan mendaftarkan atas nama dirinya maka dia mendapatkan hak atas desain produk tersebut. Secara tidak langsung sesorang bisa mendapatkan hak desain industri yang seharusnya milik orang lain secara legal.

Harus Berjaga-jaga
Industri maupun masyarakat, ujar Emawati harus berjaga-jaga dengan pembajakan desain. Terlebih, banyaknya industri terutama UKM yang tidak peduli dengan hak ini. Karena itu, pendesain kerap tidak mempunyai hak atas kerativitas yang dihasilkannya.
“Pendesain akhirnya hanya jadi tukang dan yang mendaftarkan adalah orang lain, bahkan kepemilikan hak desain adalah orang asing,” ujar Emawati.
Pihaknya, ujar Emawati tengah mengupayakan agar UKM, pelajar dan mahasiswa mendapat pembebasan atas biaya pendaftaran seperti yang dilakukan pemerintah Korea. Tak pelak, desain industri sangat berkembang di negara ginseng tersebut.
Imam Buchori mengemukakan, Korea mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat tidak terlepas dari kebijakan pemerintahnya dalam memberdayakan desain. Korea sangat ambisius menjadikan negaranya sebagai design leading countries.
Korea secara khusus membentuk lembaga yang diserahi tugas mempromosikan desain produk, yakni Korean Industrial Design Promotion.
Lembaga ini gila-gilaan melakukan riset desain industri yang bersifat fundamental. Pemerintah Korea mengalokasikan dana riset untuk jangka 5 – 10 tahun yang jumlahnya sangat besar, namun hasilnya harus memberikan kontribusi nyata bagi pengembangan ekonomi nasional.

Kelemahan Sistem
Rasanya terciptanya persaingan yang adil masih jauh. Sampai saat ini saja pemerintah masih mencari bentuk perlindungan desain industri. Sistem pendaftaran yang berlaku dinilai mempunyai banyak kelemahan, sehingga memberi peluang bentuk kecurangan.
Emawati mengatakan, kepemilikan hak desain industri akan dikeluarkan terhadap semua pemohon pertama, apabila tidak ada yang mengajukan keberatan.
“Siapa yang lebih dulu mendaftarkan dan tidak ada oposisi, kami akan mengeluarkan sertifikat hak desain industri,” kata Emawati.
Berdasarkan aturan desain yang didaftar tersebut adalah desain industri baru, bukan desain industri yang sudah lama. Namun, dalam sistem ini sarat dengan kekhawatiran apabila desain yang didaftar ternyata desain lama.
Sistem pendaftaran tidak memungkinkan adanya pemeriksaan subtantif seperti halnya paten atau merek.
Dibandingkan negara lain, seperti Korea sudah menganut sistem fully examination atau pemeriksaan secara penuh. Pemeriksaan semacam ini meminimalkan bentuk kecurangan. Setiap pengajuan permohonan hak desain industri akan diperiksa latar belakang produk tersebut.
“Hanya saja sistem ini membutuhkan biaya yang besar. Apakah pemerintah bersedia mengeluarkan dana untuk itu,” ujar Emawati.
Pada satu sisi Emawati mengatakan, saatukum ini perhatian pemerintah lebih pada mendorong lahirnya kreativitas. Kretaivitas ini diharapkan akan meningkatkan nilai jual sehingga semakin kompetitif. Akan tetapi tanpa dorongan dari pemerintah hal ini mustahil. Di negara maju, kesadaran perlunya mendaftarkan hak desain industri sangat luar biasa berbanding terbalik dengan Indonesia.
Alangkah indahnya jika negara seperti Korea mampu mendongkrak perekonomiannya lewat desain industri. Di Indonesia, tunggu dulu! (mis) sumber : sinar harapan 2003 (hak cipta sinar harapan 2003)

artikel yang dimuat di sinar harapan tersebut menurut saya sangat tepat dalam menyikapi perlindungan hukum terhadap produk dalam negeri. Jika indonesia ingin dapat memperbaiki imagenya sebagai negara yang melindungi produk dan anti pembajakan maka hal tersebut sangat penting untuk dilakukan sesegera mungkin. Tanpa adanya peran aktif pemerintah, mustahil dapat terlaksana dengan baik. Perusahaan sebagai instansi yang membuat produk-produk baru akan lebih bersemangat dalam melindungi desain industri jika birokrasinya lebih mudah dan biayanya juga masih masuk akal. Maju terus industri indonesia, Cintai produk indonesia dan stop pembajakan kekayaan intelektual.
Baca Selengkapnya -

Hukum Ketenagakerjaan

A. Arti dan Fungsi hukum Ketenagakerjaan

1. Pengertian hukum ketenagakerjaan
Menurut Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang ketenagakerjaan,
yang dimaksud dengan ketenagakerjaan itu sendiri adalah segala hal yang
berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama dan sesudah
masa kerja. Jadi hukum ketenagakerjaan dapat diartikan sebagai peraturan-peraturan
yang mengatur tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan
sesudah masa kerja.

2. Fungsi Hukum Ketenagakerjaan
Menurut Profesor Mochtar kusumaatmadja, fungsi hukum itu adalah sebagai
sarana pembaharuan masyarakat. Dalam rangka pembangunan, yang dimaksud
dengan sara pembaharuan itu adalah sebagai penyalur arah kegiatan manusia kearah
yang diharapkan oleh pembangunan.

Sebagaimana halnya dengan hukum yang lain, hukum ketenagakerjaan
mempunyai fungsi sebagai sarana pembaharuan masyarakat yang menyalurkan arah
kegiatan manusia kearah yang sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh
pembangunan ketenagakerjaan.
Pembangunan ketenagakerjaan sebagai salah satu upaya dalam mewujudkan
pembangunan nasional diarahkan untuk mengatur, membina dan mengawasi segala
kegiatan yang berhubungan dengan tenaga kerja sehingga dapat terpelihara adanya
ketertiban untuk mencapai keadilan. Pengaturan, pembinaan, dan pengawasan yang
dilakukan berdasarkan perundang-undangan yang berlaku di bidang
ketenagakerjaan itu harus memadai dan sesuai dengan laju perkembangan
pembangunan yang semakin pesat sehingga dapat mengantisipasi tuntutan
perencanaan tenaga kerja, pembinaan hubungan industrial dan peningkatan
perlindungan tenaga kerja.

Sebagaimana menurut fungsinya sebagai sarana pembaharuan, hukum
ketenagakerjaan merubah pula cara berfikir masyarakat yang kuno kearah cara
berfikir yang modern yang sesuai dengan yang dikehendaki oleh pembangunan
sehingga hukum ketenagakerjaan dapat berfungsi sebagai sarana yang dapat
membebaskan tenaga kerja dari perbudakan, peruluran, perhambaan, kerja paksa dan
punale sanksi, membebaskan tenaga kerja dari kehilangan pekerjaan, memberikan
kedudukan hukum yang seimbang dan kedudukan ekonomis yang layak kepada
tenaga kerja.

Jadi, hukum ketenagakerjaan sangat penting untuk diterapkan pada industri yang ada saat ini. Jika diterapkan dengan benar maka tidak akan ada permasalahan yang berkepanjangan antara hak dan kewajiban perusahaan dan tuntutan tenaga kerja. Praktek-praktek mafia kasus, mafia peradilan dan monopoli hukum harus ditiadakan, agar para pekerja di industri indonesia tidak selalu dirugikan oleh peraturan hukum yang tidak diterapkan secara benar dan adil.
Baca Selengkapnya -

Seberapa Pentingkah Hak Paten Produk ... ?


Jakarta, Kesadaran untuk mempatenkan produk di Indonesia masih terbilang rendah. Saat ini baru 6-7% jumlah produk yang dipatenkan, padahal target idealnya 10%.

"Jumlah aplikasi paten saat ini baru mencapai 6-7% sedangkan idealnya mencapai 10%," kata Dirjen Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI), Andy N Sommeng.

Hal itu diungkapkan Andy dalam acara seminar sehari peranan informasi paten dalam mengatasi krisis energi di Hotel Sultan, Jalan Sudirman, Jakarta, Kamis (14/8/2008).

Andy menduga, minimnya jumlah barang yang dipatenkan karena lamanya proses mematenkan barang. "Untuk proses paten suatu barang mencapai 5 tahun," ujarnya.

Saat ini tercatat 60.000 daftar tunggu barang-barang yang akan dipatenkan di seluruh dunia, yang dari jumlah tersebut sebanyak 4.000 akan mematenkan di Indonesia (HKI). Dari jumlah 4.000 barang yang akan dipatenkan hanya 10% inventor atau penemu Indonesia dan sisanya orang asing.

Untuk lebih menyosialisasikan hak paten tersebut Timnas HKI telah menyusun suatu draf dan telah diberikan ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Draf itu mengenai kebijakan nasional yang menyangkut kekayaan intelektual.

"Hak paten sendiri dilindungi selama 20 tahun untuk teknologi tingkat tinggi, sedangkan teknologi sederhana hanya 10 tahun," katanya.

Setelah 20 tahun maka teknologi yang sudah dipatenkan menjadi public domain (milik umum). Saat ini tercatat 6 juta paten yang sudah menjadi public domain di seluruh dunia (kilasberita.com/amz/dtc)

Hak paten suatu produk menurut saya merupakan suatu hal yang cukup penting, karena bisa menjadi salah satu bukti kepemilikan atas suatu produk. untuk dapat menemukan suatu produk kadang membutuhkan waktu, tenaga, dan biaya yang tidak sedikit, maka dari itu perlu dilakukan pemberian hak paten sebagai salah satu bentuk penghargaan terhadap kekayaan intelektual. Namun, jika melihat sulitnya birokrasi dan mahalnya biaya yang harus dikeluarkan membuat sebagian besar pihak "malas" untuk mengurusi hak paten produknya sendiri. Hal yang lebih parah lagi adalah budaya suatu negara yang tidak dipatenkan akan diakui oleh negara lain yang tidak memiliki budaya sendiri alias "negara yang tidak punya kreativitas".

Baca Selengkapnya -



  © Free Blogger Templates 'Greenery' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP