Kamis, 08 April 2010

Fenomena Pelaksanaan Outsourcing dari Aspek Hukum Ketenagakerjaan


Perkembangan ekonomi global dan kemajuan teknologi yang demikian cepat membawa dampak timbulnya persaingan usaha yang begitu ketat dan terjadi di semua lini.Lingkungan yang sangat kompetitif ini menuntut dunia usaha untuk menyesuaikan dengan tuntutan pasar yang memerlukan respons yang cepat dan fleksibel dalam meningkatkan pelayanan terhadap pelanggan.Untuk itu dperlukan suatu perubahan struktural dalam pengelolaan usaha dengan memperkecil rentang kendali manajemen, dengan memangkas sedemikian rupa sehingga dapat menjadi lebih efektif, efisien dan produktif.

Dalam kaitan itulah dapat dimengerti bahwa kalau kemudian muncul kecenderungan uotsourcing yaitu memborongkan satu bagian atau beberapa bagian kegiatan perusahaan yang tadinya dikelola sendiri kepada perusahaan lain yang kemudian disebut perusahaan penerima pekerjaan.

Praktek sehari-hari outsourcing selama ini diakui lebih banyak merugikan pekerja/buruh, karena hubungan kerja selalu dalam bentuk tidak tetap/kontrak (PKWT), upah lebih rendah, jaminan sosial kalaupun ada hanya sebatas minimal, tidak adanya job security serta tidak adanya jaminan pengembangan karir dan lain-lain sehingga memang benar kalau dalam keadaan seperti itu dikatakan praktek outsourcing akan menyengsarakan pekerja/buruh dan membuat kaburnya hubungan industrial.

Hal tersebut dapat terjadi karena sebelum adanya UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, tidak ada satupun peraturan perundang-undangan dibidang ketengakerjaan yang mengatur perlindungan terhadap pekerja/buruh dalam melaksanakan outsourcing. Kalaupun ada, barang kali Permen Tenaga Kerja No. 2 Tahun 1993 tentang kesempatan kerja waktu tertentu atau (KKWT), yang hanya merupakan salah satu aspek dari ousourcing.

Walaupun diakui bahwa pengaturan outsourcing dalam UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 belum dapat menjawab semua permasalahan outsourcing yang begitu luas dan kompleks, namun setidak-tidaknya dapat memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh terutama yang menyangkut syarat-syarat kerja, kondisi kerja serta jaminan sosial dan perlindungan kerja lainnya serta dapat dijadikan acuan dalam menyelesaikan apabila terjadi permasalahan.

Pelaksanaan outsourcing
Dalam beberapa tahun terakhir ini pelaksanaan outsourcing dikaitkan dengan hubungan kerja, sangat banyak dibicarakan oleh pelaku proses produksi barang maupun jasa dan oleh pemerhati, karena outsourcing banyak dilakukan dengan sengaja untuk menekan biaya pekerja/buruh (labour cost) dengan perlindungan dan syarat kerja yang diberikan jauh di bawah dari yang seharusnya diberikan sehingga sangat merugikan pekerja/buruh.
Pelaksanaan outsourcing yang demikian dapat menimbulkan keresahan pekerja/buruh dan tidak jarang diikuti dengan tindakan mogok kerja,sehingga maksud diadakannya outsourcing seperti apa yang disebutkan di atas menjadi tidak tercapai, oleh karena terganggunya proses produksi barang maupun jasa.

Terminologi outsourcing terdapat dalam Pasal 1601 b KUH Perdata yang mengatur perjanjian-perjanjian pemborongan pekerjaan yaitu suatu perjanjian dimana pihak yang ke satu, pemborong, mengikatkan diri untuk membuat suatu kerja tertentu bagi pihak yang lain, yang memborongkan dengan menerima bayaran tertentu. Sementara dalam UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 secara eksplisip tidak ada istilah outsourcing tetapi praktek outsourcing dimaksud dalam UU ingin dikenal dalam 2 (dua) bentuk, yaitu pemborongan pekerjaan dan penyediaan pekerja/buruh sebagaimana diatur dalam Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66.

Praktek outsourcing dalam UU Ketengakerjaan tersebut dapat dilaksanakan dengan persyaratan yang sangat ketat sebagai berikut:
1. Perjanjian pemborongan pekerjaan dibuat secara tertulis


2. Bagian pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan penerima pekerjaan, diharuskan memenuhi syarat-syarat:
- apabila bagian pekerjaan yang tersebut dapat dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama
- bagian pekerjaan itu merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan sehingga kalau dikerjakan pihak lain tidakkan menghambat proses produksi secara langsung, dan
- dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan.
Semua persyaran diatas bersifat kumulatif sehingga apabila salah satu syarat tidak terpenuhi, maka bagian pekerjaan tersebut tidak dapat dioutsourcingkan.


3. Perusahaan penerima pekerjaan harus berbadan hukum. Ketentuan ini diperlukan karena banyak perusahaan penerima pekerjaan yang tidak bertanggung jawab dalam memenuhi kewajiban terhadap hak-hak pekerja/buruh sebagaimana mestinya sehingga pekerja/buruh menjadi terlantar. Oleh karena itu berbadan hukum menjadi sangat penting agar tidak bisa menghindar dari tanggung jawab. Dalam hal perusahaan penerima pekerjaan, demi hukum beralih kepada perusahaan pemberi pekerjaan;


4. Perlidungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan penerima pekerja sekurang-kurangnya sama dengan pekerja/buruh pada perusahaan pemberi kerja agar terdapat perlakuan yang sama terhadap pekerja/buruh baik di perusahaan pemberi maupun perusahaan penerima pekerjaan karena pada hakekatnya bersama-sama untuk mencapai tujuan yang sama,sehingga tidak ada lagi syarat kerja, upah, perlindungan kerja yang lebih rendah.


5. Hubungan kerja yang terjadi pada outsourcing adalah antara pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pekerjaan dan di tuangkan dalam Perjanjian Kerja tertulis.Hubungan kerja tersebut pada dasarnya PKWTT (perjanjian kerja waktu Tak Tertentu ) atau tetap dan bukan kontrak akan tetapi dapat pula dilakukan PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu )/kontrak apabila memenuhi semua persyaratan baik formal maupun materiil sebagaimana diatur dalam pasal 59 UU ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003. Dengan demikian maka hubungan kerja pada outsouring tidak selalu dalam bentuk PKWT / Kontrak, apalagi akan sangat keliru kalau ada yang beranggapan bahwa outsourcing selalu dan atau sama dengan PKWT.


6. Perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh yang merupakan salah satu bentuk dari outsourcing,harus dibedakan dengan Lembaga Penempatan Tenaga Kerja Swasta (Labour Supplier ) Sebagaimana diatur dalam pasal 35,36,37 dan 38 UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 dimana apabila tenaga kerja telah di tempatkan, maka hubungan kerja yang terjadi sepenuhnya adalah pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi kerja bukan dengan lembaga penempatan tenaga kerja Swasta tersebut.

Dalam pelaksanaan penyediaan jasa pekerja/buruh, perusahaan pemberi kerja tidak boleh memperkerjakan pekerja/buruh untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan dengan proses produksi dan hanya boleh di gunakan untuk melaksanakan kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan lansung dengan proses produksi.. Kegiatan dimaksud antara lain: Usaha pelayanan kebersihan (clening service), usaha penyedia makanan bagi pekerja/buruh (catering), usaha tenaga pengaman/satuan pengamanan (security), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan serta usaha penyedia angkutan pekerja/buruh.
Disamping persyaratan yang berlaku untuk pemborongan pekerjaan, perusahaan penyediaan jasa pekerja/buruh bertanggung jawab dalam hal perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan hubungan industrial yang terjadi.


Perlindungan hukum
Pengaturan pelaksanan outsourcing bila dilihat dari segi hukum ketenagakerjaan seperti apa yang di sebutkan di atas adalah untuk memberikan kepastian hukum pelaksanaan outsourcing dan dalam waktu bersamaan memberikan perlindungan kepada pekerja/buruh, sehingga adanya anggapan bahwa hubungan kerja pada outsourcing selalu menggunakan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu/Kontrak sehingga mengaburkan hubungan industrial adalah tidak benar. Pelaksanan hubungan kerja pada outsourcing telah diatur secara jelas dalam pasal 65 ayat ( 6 ) dan ( 7 ) dan pasal 66 ayat ( 2 ) dan ( 4 ) UU Ketenagakerjaan.

Memang pada keadaan tertentu sangat sulit untuk mendefenisikan/menentukan jenis pekerjaan yang dikatagorikan penunjang.Hal tsb dapat terjadi karena perbedaan persepsi dan adakalanya juga dilatarbelakangi loeh kepentingan yang diwakili untuk memperoleh keuntungan dari kondisi tersebut. Disamping itu bentuk-bentuk pengolaan usaha yang sangat bervariasi dan beberapa perusahaan multi nasional dalam era globalisasi ini membawa bentuk baru pola kemitraan usahanya,menambah semakin kompleksnya kerancuan tersebut.

Oleh karena itu melalui keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam pasal 65 ayat (5) UU Ketenagakerjaan No. 13 Thn.2003 diharapkan mampu mengakomodir/memperjelas dan menjawab segala sesuatu yang menimbulkan kerancuan tersebut dengan mempertimbangkan masukan dari semua pihak pelaku proses produksi barang maupun jasa.

Selain dari upaya tersebut,untuk mengurangi timbulnya kerancuan,dapat pula dilakukan dengan membuat dan menetapkan skema proses produksi suatu barang maupun jasa sehingga dapat di tentukan pekerjaan pokok/utama (core business ) ; di luar itu berarti pekerjaan penunjang . Dalam hal ini untuk menyamakan persepsi perlu dikomunikasikan dengan pekerja/buruh dan SP/SB serta instansi terkait untuk kemudian dicantumkan dalam PP/PKB.



Penutup
Pengaturan outsourcing dalam UU ketenagakerjaan berikut peraturan pelaksanaannya dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dan sekaligus memberikan bagi pekerja/buruh. Bahwa dalam prakteknya ada yang belum terlaksana sebagaimana mestinya adalah masalah lain dan bukan karena aturannya itu sendiri.

Oleh karena itu untuk menjamin terlaksananya secara baik sehingga tercapai tujuan untuk melindungi pekerja/buruh,diperlukan pengawas ketenagakerjaan maupun oleh masyarakat disamping perlunya kesadaran dan itikad baik semua pihak.[dr. Muzni Tambusai, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial]

dikutip dari tulisan : http://maulabour.wordpress.com.


Sistem outsourcing pada saat ini dirasa hanya menguntungkan salah satu pihak saja terutama kalangan pengusaha. Bagi karyawan memang akan dirugikan dengan hilangnya berbagai hak yang bisa diperoleh oleh karyawan yang berstatus pegawai tetap. Pemerintah sebaiknya melakukan beberapa revisi mengenai undang-undang outsourcing agar karyawan lebih memiliki kekuatan hukum dalam menuntut hak nya. Sebagai seorang karyawan, saya juga tidak setuju dengan sistem outsourcing. Oleh karena itu saya menghindari bekerja dengan status outsourcing. Mungkin hal itu juga menjadi pemikiran karyawan-karyawan lain di luar sana sehingga sampai saat ini pengangguran masih terjadi di mana-mana. Peran aktif dan kebijakan dari pemerintah sangat diharapkan oleh para karyawan outsourcing untuk dapat mengatasi fenomena yang terjadi di negeri kita saat ini. Sadar atau tidak, hal ini merupakan salah satu bentuk penjajahan secara halus menurut saya.


Baca Selengkapnya -

Rabu, 07 April 2010

Bajakan....?? Open source aja Lagi coy...


Mungkin sudah bukan rahasia umum lagi, kalau negara kita ini (baca : Indonesia) adalah “surga” bagi software bajakan. Nggak usah jauh-jauh, di sekitar kita saja – entah PC kantor, laptop pribadi ataupun komputer di rumah – coba perhatikan, apakah semuanya memakai software original dan berlisensi? Kalau mau jujur, pasti lebih dari 75% mengatakan “tidak tuh !”

Nah, laporan Global Software Piracy Study (GSPS) bisa menjadi acuan, bahwa persentase penggunaan software bajakan di Indonesia mencapai 85%. Dampaknya, menurut Business Software Alliance (BSA), kerugian atau opportunity lost yang mendera industri software lokal hingga 2008 bisa mencapai US$ 544 juta.

Untungnya, pemerintah juga tidak tinggal diam. Untuk mengerem laju pembajakan software yang makin marak ini, Tim Nasional Penanggulangan Pelanggaran Hak kekayaan Intelektual (PPHKI) kini menyasar pusat-pusat perdagangan komputer sebagai target kampanye. Tujuannya, selain memberikan edukasi kepdada pedagang, tim juga menyadarkan pengunjung agar tidak membeli produk bajakan. Sehingga, menyertai kampanye ini, PPHKI memasang berbagai poster-poster anti-software ilegal.

Sudah dapat kita duga, target pertama dalam rangkaian kampanye kali ini adalah kawasan perbelanjaan Mangga Dua, yang selama ini dikenal sebagai pusat komputer di Jakarta, bahkan di Indonesia. Instansi yang terlibat di kampanye inipun cukup beragam, mulai dari Departemen Hukum dan HAM, Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) dan Indonesia Anti Piracy (IAP). (sumber : www.sugengpribadi.com)

Tapi apa yang terjadi hingga tahun 2010 ini, software bajakan masih terus berkembang dan merajalela. Harga software original juga memang beda jauh banget dibanding yang bajakan. Untuk performa software mungkin cuma beda tipis antara yang "ori" dan yang "bajakan". sebagai warga negara yang baik sih seharusnya kalo ga mampu beli yang original sebaiknya pake software yang open source aja, linux misalnya. Software open source juga ga jelek-jelek amat menurut saya. Sekarang sudah banyak produk software open source yang tampilannya sudah user friendly alias mudah digunakan dan tampilan menarik. Sebut saja beragam distro dari linux mulai dari mandriva, sampai ubuntu versi terbaru. Selain bebas dari tuntutan hukum, pemakaian software open source juga dapat membuat kita terbebas dari ancaman virus komputer.

Jadi, tunggu apalagi....
segeralah mencoba program-program open source biar bangsa kita ini tidak selalu tergantung kepada bangsa lain. betul..betul..betul....

Jayalah Indonesiaku... Jadilah pemimpin dunia....
Baca Selengkapnya -

Benarkah Perlindungan Hukum terhadap Desain Industri Masih Kurang

Dengan berlakunya UU Nomor 19 tahun 2002, tentang Hak Cipta, maka pembajakan masuk daftar “musuh besar” dalam dunia industri. Sebelum Hak Cipta, UU No.14/2001, tentang Merek dan UU No.15/2001 sudah diluncurkan terlebih dahulu.

Ketiga istilah Hak Cipta, Paten dan Merek memang sangat populer berkaitan dengan Hak Kekayaan Intelektual (HaKI). Sebuah produk, biasa-nya hanya didaftar untuk memperoleh Hak Cipta, Merek atau Paten. Padahal, dalam sebuah produk, tidak hanya ketiga unsur tersebut, masih ada Desain Industri dan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.
Bagaimana dengan desain industri?
Perlindungan hukum terhadap desain industri seolah tenggelam dalam hingar bingar kampanye anti pembajakan. Bagi kebanyakan orang istilah desain industri masih asing
Terbitnya UU mengenai Desain Industri memang tergolong baru – UU Nomor 31 Tahun 2000 yang berlaku sejak 20 Desember 2000. Pendaftarannya sendiri baru dimulai pada 16 Juni 2001. Tak heran, bila desain industri kalah beken dibandingkan Hak Cipta, Paten atau Merek.
Padahal desain bagi masyarakat menjadi indikator akan nilai sebuah produk. Lihat saja, bagaimana desain telepon selular, mobil, motor, produk elektronik atau produk lain berubah demikian cepat. Dengan desain yang semakin menarik maka nilai sebuah produk ikut terdongkrak.
Namun, ironisnya desain yang di daftar masih sangat sedikit dibandingkan begitu banyak jumlah produk yang dikeluarkan dalam industri.
Direktur Hak Cipta, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dan Rahasia Dagang Departemen Kehakiman dan HAM, Emawati Junus mengakui besarnya ketidaktahuan masyarakat terhadap perlindungan desain industri.
Saat ini, pendaftaran terhadap desain industri yang masuk baru 8000 aplikasi dan di antaranya hanya 49 aplikasi berasal dari Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Statistik pemohon dari luar negeri 14 persen dan 86 persen berasal dari dalam negeri.
“Hak Cipta memang lebih dikenal daripada desain industri. Bagi masyarakat desain industri masih sangat baru,” ujarnya.
Jika Hak Cipta atau Merek adalah perlindungan terhadap produk tersebut maka desain industri adalah perlindungan terhadap penampakan suatu produk. Jadi perlindungan lebih pada bentuk kreasi penampakan dan konfigurasi yang tampak pada suatu produk bukan perlindungan terhadap produk tersebut.

Mendapat Hak
Setiap orang yang mendapat persetujuan dari Direktorat HKI maka mendapat hak desain industri atau monopoli selama 10 tahun. Pemegang hak desain industri ini mempunyai hak memberi izin atau melarang orang lain untuk membuat, menjual, mengimpor, mengekspor atau mengedarkan barang yang telah diberikan hak desain industri.
Dirjen Hak Kekayaan Intelektual Depkeh HAM, Abdul Bari Azed menegaskan, desain industri akan mendukung peningkatan pertumbuhan ekonomi. Bagaimanapun perlindungan terhadap desain industri akan meningkatkan kreativitas dalam menciptakan produk yang beragam di sektor manufaktur serta kerajinan.
Namun, Abdul Bari Azed mengakui pemerintah sangat minim melakukan sosialisasi mengenai desain industri. Karena itu, tidak aneh bila kemudian ada ketidaktahuan masyarakat akan desain industri. Jika begini fasilitas keringanan yang diberikan untuk UKM tingkat realisasinya sangat rendah.
Dalam PP Nomor 50 Tahun 2001, ada biaya khusus yang diberikan untuk UKM, pelajar atau mahasiswa dalam mendaftarkan desainnya. Kelompok ini mendapat keringanan 50 persen dari Rp 600.000 setiap kali pendaftaran.

Mudah Dibajak
Bayangkan jika desain sebuah produk tidak berubah. Lebih parah lagi, pertumbuhan dari industri minus. Jika itu yang terjadi pertumbuhan ekonomi juga tidak ada. Desain merupakan aset produk, bagian dari kreativitas manusia.
Kreativitas ini perlu ditingkatkan supaya bisa bersaing di perdagangan global.
Industri dan desain menjadi dua hal yang tak bisa dipisahkan. Dalam hal inilah, industri cenderung rendah dalam pengembangan desain. Tak pe-lak, bila kemudian sebuah kreativitas dibajak.
Menurut Guru Besar Desain Produk Industri ITB, Imam Buchori Zaenuddin hal itu disebabkan ada kegamangan dari industri untuk mengembangkan produk yang siklus hidupnya berjangka panjang dengan alasan investasi semacam itu penuh risiko. Selain itu, kurangnya wawasan industri tentang desain dan adanya anggapan penelitian desain membutuhkan biaya yang mahal serta belum adanya kejelasan hubungan antara industri dengan pendesain.
Pembajakan desain memang tak jarang dianggap sepi, tak heran kasus pembajakan ini yang muncul ke permukaan nyaris tidak ada. Padahal sebuah desain, sangat mudah untuk dijiplak. Misalnya dalam pameran, khususnya UKM, umumnya akan memamerkan produk belum didaftarkan.
Dengan hanya memotret produk itu, membuatnya dengan desain yang sama dan mendaftarkan atas nama dirinya maka dia mendapatkan hak atas desain produk tersebut. Secara tidak langsung sesorang bisa mendapatkan hak desain industri yang seharusnya milik orang lain secara legal.

Harus Berjaga-jaga
Industri maupun masyarakat, ujar Emawati harus berjaga-jaga dengan pembajakan desain. Terlebih, banyaknya industri terutama UKM yang tidak peduli dengan hak ini. Karena itu, pendesain kerap tidak mempunyai hak atas kerativitas yang dihasilkannya.
“Pendesain akhirnya hanya jadi tukang dan yang mendaftarkan adalah orang lain, bahkan kepemilikan hak desain adalah orang asing,” ujar Emawati.
Pihaknya, ujar Emawati tengah mengupayakan agar UKM, pelajar dan mahasiswa mendapat pembebasan atas biaya pendaftaran seperti yang dilakukan pemerintah Korea. Tak pelak, desain industri sangat berkembang di negara ginseng tersebut.
Imam Buchori mengemukakan, Korea mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat tidak terlepas dari kebijakan pemerintahnya dalam memberdayakan desain. Korea sangat ambisius menjadikan negaranya sebagai design leading countries.
Korea secara khusus membentuk lembaga yang diserahi tugas mempromosikan desain produk, yakni Korean Industrial Design Promotion.
Lembaga ini gila-gilaan melakukan riset desain industri yang bersifat fundamental. Pemerintah Korea mengalokasikan dana riset untuk jangka 5 – 10 tahun yang jumlahnya sangat besar, namun hasilnya harus memberikan kontribusi nyata bagi pengembangan ekonomi nasional.

Kelemahan Sistem
Rasanya terciptanya persaingan yang adil masih jauh. Sampai saat ini saja pemerintah masih mencari bentuk perlindungan desain industri. Sistem pendaftaran yang berlaku dinilai mempunyai banyak kelemahan, sehingga memberi peluang bentuk kecurangan.
Emawati mengatakan, kepemilikan hak desain industri akan dikeluarkan terhadap semua pemohon pertama, apabila tidak ada yang mengajukan keberatan.
“Siapa yang lebih dulu mendaftarkan dan tidak ada oposisi, kami akan mengeluarkan sertifikat hak desain industri,” kata Emawati.
Berdasarkan aturan desain yang didaftar tersebut adalah desain industri baru, bukan desain industri yang sudah lama. Namun, dalam sistem ini sarat dengan kekhawatiran apabila desain yang didaftar ternyata desain lama.
Sistem pendaftaran tidak memungkinkan adanya pemeriksaan subtantif seperti halnya paten atau merek.
Dibandingkan negara lain, seperti Korea sudah menganut sistem fully examination atau pemeriksaan secara penuh. Pemeriksaan semacam ini meminimalkan bentuk kecurangan. Setiap pengajuan permohonan hak desain industri akan diperiksa latar belakang produk tersebut.
“Hanya saja sistem ini membutuhkan biaya yang besar. Apakah pemerintah bersedia mengeluarkan dana untuk itu,” ujar Emawati.
Pada satu sisi Emawati mengatakan, saatukum ini perhatian pemerintah lebih pada mendorong lahirnya kreativitas. Kretaivitas ini diharapkan akan meningkatkan nilai jual sehingga semakin kompetitif. Akan tetapi tanpa dorongan dari pemerintah hal ini mustahil. Di negara maju, kesadaran perlunya mendaftarkan hak desain industri sangat luar biasa berbanding terbalik dengan Indonesia.
Alangkah indahnya jika negara seperti Korea mampu mendongkrak perekonomiannya lewat desain industri. Di Indonesia, tunggu dulu! (mis) sumber : sinar harapan 2003 (hak cipta sinar harapan 2003)

artikel yang dimuat di sinar harapan tersebut menurut saya sangat tepat dalam menyikapi perlindungan hukum terhadap produk dalam negeri. Jika indonesia ingin dapat memperbaiki imagenya sebagai negara yang melindungi produk dan anti pembajakan maka hal tersebut sangat penting untuk dilakukan sesegera mungkin. Tanpa adanya peran aktif pemerintah, mustahil dapat terlaksana dengan baik. Perusahaan sebagai instansi yang membuat produk-produk baru akan lebih bersemangat dalam melindungi desain industri jika birokrasinya lebih mudah dan biayanya juga masih masuk akal. Maju terus industri indonesia, Cintai produk indonesia dan stop pembajakan kekayaan intelektual.
Baca Selengkapnya -

Hukum Ketenagakerjaan

A. Arti dan Fungsi hukum Ketenagakerjaan

1. Pengertian hukum ketenagakerjaan
Menurut Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang ketenagakerjaan,
yang dimaksud dengan ketenagakerjaan itu sendiri adalah segala hal yang
berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama dan sesudah
masa kerja. Jadi hukum ketenagakerjaan dapat diartikan sebagai peraturan-peraturan
yang mengatur tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan
sesudah masa kerja.

2. Fungsi Hukum Ketenagakerjaan
Menurut Profesor Mochtar kusumaatmadja, fungsi hukum itu adalah sebagai
sarana pembaharuan masyarakat. Dalam rangka pembangunan, yang dimaksud
dengan sara pembaharuan itu adalah sebagai penyalur arah kegiatan manusia kearah
yang diharapkan oleh pembangunan.

Sebagaimana halnya dengan hukum yang lain, hukum ketenagakerjaan
mempunyai fungsi sebagai sarana pembaharuan masyarakat yang menyalurkan arah
kegiatan manusia kearah yang sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh
pembangunan ketenagakerjaan.
Pembangunan ketenagakerjaan sebagai salah satu upaya dalam mewujudkan
pembangunan nasional diarahkan untuk mengatur, membina dan mengawasi segala
kegiatan yang berhubungan dengan tenaga kerja sehingga dapat terpelihara adanya
ketertiban untuk mencapai keadilan. Pengaturan, pembinaan, dan pengawasan yang
dilakukan berdasarkan perundang-undangan yang berlaku di bidang
ketenagakerjaan itu harus memadai dan sesuai dengan laju perkembangan
pembangunan yang semakin pesat sehingga dapat mengantisipasi tuntutan
perencanaan tenaga kerja, pembinaan hubungan industrial dan peningkatan
perlindungan tenaga kerja.

Sebagaimana menurut fungsinya sebagai sarana pembaharuan, hukum
ketenagakerjaan merubah pula cara berfikir masyarakat yang kuno kearah cara
berfikir yang modern yang sesuai dengan yang dikehendaki oleh pembangunan
sehingga hukum ketenagakerjaan dapat berfungsi sebagai sarana yang dapat
membebaskan tenaga kerja dari perbudakan, peruluran, perhambaan, kerja paksa dan
punale sanksi, membebaskan tenaga kerja dari kehilangan pekerjaan, memberikan
kedudukan hukum yang seimbang dan kedudukan ekonomis yang layak kepada
tenaga kerja.

Jadi, hukum ketenagakerjaan sangat penting untuk diterapkan pada industri yang ada saat ini. Jika diterapkan dengan benar maka tidak akan ada permasalahan yang berkepanjangan antara hak dan kewajiban perusahaan dan tuntutan tenaga kerja. Praktek-praktek mafia kasus, mafia peradilan dan monopoli hukum harus ditiadakan, agar para pekerja di industri indonesia tidak selalu dirugikan oleh peraturan hukum yang tidak diterapkan secara benar dan adil.
Baca Selengkapnya -

Seberapa Pentingkah Hak Paten Produk ... ?


Jakarta, Kesadaran untuk mempatenkan produk di Indonesia masih terbilang rendah. Saat ini baru 6-7% jumlah produk yang dipatenkan, padahal target idealnya 10%.

"Jumlah aplikasi paten saat ini baru mencapai 6-7% sedangkan idealnya mencapai 10%," kata Dirjen Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI), Andy N Sommeng.

Hal itu diungkapkan Andy dalam acara seminar sehari peranan informasi paten dalam mengatasi krisis energi di Hotel Sultan, Jalan Sudirman, Jakarta, Kamis (14/8/2008).

Andy menduga, minimnya jumlah barang yang dipatenkan karena lamanya proses mematenkan barang. "Untuk proses paten suatu barang mencapai 5 tahun," ujarnya.

Saat ini tercatat 60.000 daftar tunggu barang-barang yang akan dipatenkan di seluruh dunia, yang dari jumlah tersebut sebanyak 4.000 akan mematenkan di Indonesia (HKI). Dari jumlah 4.000 barang yang akan dipatenkan hanya 10% inventor atau penemu Indonesia dan sisanya orang asing.

Untuk lebih menyosialisasikan hak paten tersebut Timnas HKI telah menyusun suatu draf dan telah diberikan ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Draf itu mengenai kebijakan nasional yang menyangkut kekayaan intelektual.

"Hak paten sendiri dilindungi selama 20 tahun untuk teknologi tingkat tinggi, sedangkan teknologi sederhana hanya 10 tahun," katanya.

Setelah 20 tahun maka teknologi yang sudah dipatenkan menjadi public domain (milik umum). Saat ini tercatat 6 juta paten yang sudah menjadi public domain di seluruh dunia (kilasberita.com/amz/dtc)

Hak paten suatu produk menurut saya merupakan suatu hal yang cukup penting, karena bisa menjadi salah satu bukti kepemilikan atas suatu produk. untuk dapat menemukan suatu produk kadang membutuhkan waktu, tenaga, dan biaya yang tidak sedikit, maka dari itu perlu dilakukan pemberian hak paten sebagai salah satu bentuk penghargaan terhadap kekayaan intelektual. Namun, jika melihat sulitnya birokrasi dan mahalnya biaya yang harus dikeluarkan membuat sebagian besar pihak "malas" untuk mengurusi hak paten produknya sendiri. Hal yang lebih parah lagi adalah budaya suatu negara yang tidak dipatenkan akan diakui oleh negara lain yang tidak memiliki budaya sendiri alias "negara yang tidak punya kreativitas".

Baca Selengkapnya -



  © Free Blogger Templates 'Greenery' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP